A. Terbentuknya Jaringan Nusantara
Melalui Perdagangan
Letak
Nusantara sangat strategis, yaitu di persilangan lalu lintas dan perdagangan
internasional. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa sejak zaman kuno
wilayah Nusantara menjadi tempat persilangan lalu lintas laut dan perdagangan
internasional yang ramai.
Jalur
perdagangan laut menghubungkan India dan Cina melalui Kepulauan Nusantara
dikenal sebagai jalur sutra laut. Jalur sutra laut merupakan kelanjutan jalur
sutra darat yang digunakan para pedagang sejak abad I hingga XVI Masehi.
Dinamakan jalur sutra karena komoditas utama yang dibawa para pedagang melalui
jalur ini adalah kain sutra.
Ramainya
rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting seperti Samudera
Pasai, Malaka dan Kota Cina (sekarang Sumatera Utara).
Salah
satu bukti yang menunjukkan kemampuan masyarakat dalam membuat kapal adalah
prasasti Bebetin yang berangka tahun 818 Saka (896 Masehi). Dalam prasasti ini
disebutkan istilah Undhagi lancang. Undhagi lancang sebagai profesi atau
pembuat sampan atau perahu. Profesi Undhagi
lancang juga disebutkan dalam prasasti Sading A peninggalan Kerajaan
Kediri. Prasasti Sading A yang berangka tahun 1001 Masehi menyebutkan adanya
profesi palancang. Palancang memiliki arti pajak yang
berkaitan dengan perahu atau sampan.
Prasasti
Kedukan Bukit menyebutkan Raja Dapunta Hyang menggunakan dua ratus kapal untuk
mengangkut prajurit menuju Minangatamwan. Alat transportasi yang digunakan
Kerajaan Sriwijaya adalah kapal. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan pendapat
Pierre Yves Manguin yang menyatakan Kerajaan Sriwijaya menggunakan kapal-kapal
besar saat berlayar di Samudera Hindia dan Laut Cina. Kerajaan Srwijaya
menggunakan kapal dagang berukuran besar yang memiliki bobot 250 – 1.000 ton
dan panjang 60 meter.
Bukti
kemajuan teknologi perkapalan di Indonesia juga ditunjukan oleh relief kapal
pada dinding candi borobudur. Pada masa Hindu-Budha masyarakat Indonesia telah mengenal
tiga jenis kapal, yaitu perahu lesung, perahu bercadik, dan perahu tidak
bercadik.
Kapal
berukuran besar dari Indonesia yang dikenal oleh para pedagang Cina adalah Jung. Jung menguasai perairan Indonesia pada abad XIII – XIV Masehi. Kapal Jung dibuat di sepanjang pantai utara Jawa dan pantai Kalimantan
bagian selatan. Jung dibuat dengan
menggunakan kayu jati atau kayu besi. Jung
digunakan untuk mengangkut barang dagangan seberat 350 – 500 ton beserta
ratusan penumpang. Jung merupakan
bukti kemampuan bangsa Indonesia di bidang pelayaran dan teknologi perkapalan.
Sistem
angin di wilayah Nusantara memungkinkan pengembangan jalur pelayaran dari barat
ke timur dan sebaliknya secara teratur dengan pola tetap. Kota-kota pelabuhan
serta pusat kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Jenis
– jenis angin yang dimanfaatkan untuk kegiatan pelayaran sebagai berikut :
1) Angin
Darat dan Angin Laut
Angin
darat adalah angin yang berhembus dari arah darat ke laut pada malam hari.
Angin ini dimanfaatkan oleh pedagang untuk bepergian dari darat menuju lautan.
Para pedagang berlayar menggunakan perahu pada malam hari. Sementera itu, angin
laut adalah angin yang berembus dari laut ke darat pada siang hari. Angin ini
dimanfaatkan para pedagang untuk kembali ke darat pada siang hari.
2) Angin
Monsun
Angin
ini dibedakan menjadi dua, yaitu angin monsun barat dan angin monsun timur.
Angin monsun barat berembus dari Benua Asia ke Benua Australia. Angin ini
bertiup pada bulan Oktober – April. Angin monsun barat dimanfaatkan para
pedagang India untuk berangkat menuju Indonesia. Angin monsun timur bertiup
dari Benua Australia ke Benua Asia. Angin ini berembus pada bulan April –
Oktober. Angin ini dimanfaatkan pedagang India untuk kembali ke daerah asalnya.
Perahu
sampan yang merupakan bentuk awal kapal modern hanya dipakai sebagai alat
transportasi sungai. Perahu kayu ini digerakkan menggunakan dayung yang terbuat
dari kayu.
Pada
mulanya penunjuk arah dalam pelayaran kuno menggunakan pengetahuan rasi
bintang. Selanjutnya, manusia berhasil menciptakan alat yang sekarang dikenal
dengan nama kompas. Kompas merupakan alat navigasi untuk menentukan arah berupa
sebuah panah penunjuk magnetis yang bebas menyelaraskan dengan medan magnet
bumi secara akurat.
Beberapa
kitab India yang ditulis sekira abad IV sebelum Masehi – II Masehi telah
menyebutkan beberapa wilayah di Nusantara. Kitab-kitab tersebut misalnya kitab Artha Sastra, Jataka, Nidesa, dan Ramayana. Kitab – kitab tersebut menyebutkan
nama-nama daerah di Nusantara seperti Suvarnabhumi,
Suvarnarpyakadvipa, Java, dan Javadvipa.
Seorang
astronom Yunani bernama Claudius Ptolomeaus juga menyebutkan bukti adanya
jaringan perdagangan di wilayah Nusantara. Bukti – bukti tersebut ditulis dalam
buku Guide to Geography. Dalam naskah tersebut juga terdapat peta yang
menggambarkan beberaat daerah di Indonesia antara lain Barusae (Barus), Sindae (Sunda), Sabadibae (Sumatera) dan Labadium
(Jawa).
Sumber
lain dari Yunani yang menjelaskan perdagangan kuno di Samudra Hindia adalah
buku Sailor’s Guide to the Erythraean Sea.
Istilah Erythraean Sea merujuk pada
nama Yunani Kuno untuk Samudra Hindia. Buku yang ditulis pada abad I Masehi ini
sangat penting untuk menggali aktifitas pelayaran kuno karena menyebut 27
pelabuhan yang telah melakukan perdagangan internasional.
Disebutkan
dalam kitab Mahaniddesa dapat
diketahui pada abad II Masehi bangsa India telah mengenal beberapa tempat
penting di wilayah Nusantara. Disimpulkan hubungan dagang antara masyarakat
Indonesia dan bangsa asing telah terjadi pada abad I-II Masehi.
Aktivitas
perdagangan pada masa Hindu Buddha terbagi menjadi dua, yaitu perdagangan
maritim dan agraris. Perdagangan Maritim dilakukan oleh kerajaan di pesisir
seperti Kerajaan Sriwijaya. Adapaun perdagangan agraris dilakukan kerajaan di
pedalaman seperti Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno, Kediri,
Singasari, dan Majapahit. Sungai Mahakam, Candrabaga, Bengawan Solo, dan
Brantas merupakan sungai – sungai utama di wilayah Kepulauan Indonesia yang
berperan penting dalam kegiatan perdagangan agraris.
a.
Hubungan
Dagang India dengan Indonesia
Para
pedagang India merupakan golongan pedagang yang datang ke wilayah Nusantara.
Prasasti Kaladi di Jawa Timur yang berangka tahun 909 Masehi menyebutkan para
pedagang asing yang datang ke wilayah Nusantara adalah orang - orang Kling (Kalingga – India), Arya
(Arya), Singhala (Sri Lanka), Campa (Kamboja), dan Kismira (Khasmir)
Menurut
Jacob Cornelis van Leur, barang-barang yang diperdagangkan bernilai ekonomi
tinggi. Barang-barang tersebut antara lain logam mulia, perhiasan, kain tenun,
barang pecah belah, kerajinan, ramuan wangi-wangian, kapur barus, dan ramuan
obat.
Hubungan
para pedagang India dan pedagang dari Nusantara terjadi karena minat pedagang
India pada kayu cendana. Selain kayu cendana, banyak pedagang India yang
mencari kayu gaharu. Kedua jenis kayu tersebut menjadi barang ekspor utama dari
pedagang Indonesia. Kedua jenis kayu tersebut digunakan sebagai wangi-wangian,
obat, kosmetik, dan bahan pengawet.
Rempah-rempah
menjadi komoditas dagang utama para pedagang Indonesia. Cengkih merupakan komoditas
dagang dari Kepulauan Indonesia Timur. Kita Raghuwasma
karya Kalidasa disebutkan bahwa pada tahun 400 Masehi masyarakat India telah
mengenal Lavangga (Cengkih) yang
berasal dari Dwipantara. Dwipantara adalah Kepulauan Indonesia. Selain cengkih,
para pedagang India mencari lada. Komoditas bernilai tinggi lainnya yang juga
dicari banyak pedagang asing adalah emas. Kebutuhan emas semakin mendesak
setelah India kehilangan sumber emas yang berasal dari Romawi. Kaisar
Vespasianus melarang keluarnya emas dari Romawi karena akan membahayakan
perekonomian negara. Keadaan ini mendorong pedagang India mencari sumber emas
di wilayah lain seperti Kepulauan Indonesia di Asia Tenggara. Fakta ini
dibuktikan dengan penamaan wilayah Swarnadwipa/
Swarnabhumi (Sumatera) yang berarti Pulau Emas.
b.
Hubungan
Dagang Cina dengan Indonesia
Kedatangan
pedagang Cina ke wilayah Indonesia tidak dapat dilepaskan dari situasi politik
di negeri Cina. Hubungan Cina dengan dunia luar baru dimulai sekira abad II
Masehi. Dinasti Han berhasil meluaskan wilayah kekuasaan hingga ke luar Cina.
Perluasan wilayah tersebut mencapai wilayah Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara. Abad IV Masehi Cina berhasil menguasai Tonkin. Sejak saat itulah
pengaruh Cina semakin berkembang ke wilayah Asia Tenggara seperti Funan dan
Semenanjung Malaya.
Sumber
yang sangat penting untuk menjelaskan aktifitas para pedagang Cina adalah
catatan Fa-Hsien. Ahli sejarah O.W Wolters menyatakan kegiatan pelayaran antara
Cina dan masyarakat Indonesia terjadi sekira abad III-V Masehi. Wolters
mendasarkan pendapatnya pada catatan Fa-Hsien yang pada tahun 413 menempuh
perjalanan dari Yeh-Po untuk kembali ke Cina. Yeh-Po diartikan sebagai Pulau
Jawa. Abad III-V Masehi sudah ada pelayaran langsung antara Cina dan Indonesia.
Komoditas
yang dicari pedagang Cina tidak jauh berbeda dengan yang dibawa pedagang India.
Komoditas Indonesia tersebut berupa wangi-wangian yang sering digunakan
bangsawan Cina seperti kemenyan, kapur barus, kayu gaharu, dan kayu cendana.
Para pedagang Cina juga membeli rempah-rempah, hasil kerajinan dan kulit
binatang yang hanya terdapat di Indonesia.
Letak
kepulauan Indonesia yang sangat strategis menyebabkan wilayah ini menjadi pusat
lalu lintas dan perdagangan Asia. Dampak kedudukan Indonesia sebagai pusat lalu
lintas pelayaran dan perdagangan Asia tersebu dapat dibagi menjadi dua, yaitu
dampak ekonomis dan dampak kultural (kebudayaan). Dampak ekonomis ditujukan
dengan perkembangan pelabuhan di wilayah pesisir Indonesia yang berlangsung
pesat. Dampat kultural ditunjukan dengan masukknya agama dan kebudayaan Hindu –
Buddha ke wilayah Indonesia.